ANAK MUDA DIPERSIMPANGAN; ANTARA CAFE DAN MASJID

oleh -1,284 views

Oleh : Dr. H. Johar Arifin, Lc., MA (Sekretaris Umum MUI Kabupaten Kampar)

Makan minum adalah kebutuhan dasar manusia, bahkan saking pentingnya itu menjadi tradisi dan budaya yang mengakar disuatu daerah, darinya lahir berjuta jenis varian makanan dan minuman, lahir pula tempat-tempat yang disediakan secara khusus. Harga makanan dan minuman tidak hanya ditentukan oleh kualitas saja tetapi anda makan dan minum dimana. Dulu orang cukup makan minum di rumah, paling ke kedai kopi sederhana, kini sudah ketinggalan, beralih ke gerai makan minum zaman now, bermunculanlah cafe-cafe bak jamur dimusim hujan. Di persimpangan hingga jalan protokol, di kota besar, kota sedang bahkan di kampungpun juga ada. Lalu siapa yang memenuhi café-cefe itu ??,  jika dilakukan penelitian kecil-kecilan saya bisa memastikan hasilnya mencapai 85 % dipukul rata dari usia 17 tahun sampai 40 tahun. Artinya mayoritas di isi kaula muda atau kaum millenial. Jika merujuk term anak muda untuk masyarakat Indonesia itu dipahami mereka yang memiliki batasan usia anatar 11 hingga 24 tahun dan belum menikah, [Sarwono, 2013,11-14]. Cafe bagi anak muda dijadikan sarana kongkow-kongkow, makan minum sambil menikmati wifi gratis, hingga waktu berlalu habis bahkan mereka sambung kembali di café yang lain untuk suasana lain pula. Mereka yang tidak cukup koceknya ke café cari tempat lebih murah bahkan bisa nongkrong tanpa keluar uang sepersenpun. Masa habis, umur soak terpakai ibarat lampu sudah redup.

Lalu apa yang mereka cari nongkrong di café ? Ada yang menjawab; menghilangkan kejenuhan, mereka sudah bosan dengan lingkugan sekitar, ada lagi menjawab; café adalah tempat yang menyenangkan, nyaman dan banyak lagi lainnya [dikutip dari balipost.com/23.10-2020]. Hingga saat ini budaya nongkrong di café tidak hanya sekedar minum secangkir kopi, ngobrol santai, mengerjakan tugas sekolah atau tugas kuliah, urusan bisnis tapi bergeser menjadi gaya hidup, [hasil penelitian Ahmad Fauzi, budaya nongkrong anak muda di café, ojs.unud.ac.id]. Data Kominfo RI memperkirakan pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang, dan lebih diangka 30 juta anak-anak dan remaja di Indonesia menggunakan internet dan media digital lainnya, [riset Kominfo Unicef mengenai prilaku anak dan remaja dalam penggunaan internet, kominfo.go.id]. Tentu ini berdampak positif dan sudah dipastikan dampak negatifnya terus dirasakan.

Beralih ke Masjid di era millenial, ia tumbuh bak jamur dimusim hujan, jika kita lihat data statistik Masjid Mushalla di Riau berdasarkan pemutakhiran data ditjen Bimas Islam Kemenag RI tahun 2014 berjumlah 12. 862, bayangkan 6 tahun kemudian ditahun 2020 ini, tentu jumlahnya lebih fantastis lagi. Satu sisi kita boleh bangga, Masjid banyak dan megah, bahkan Masjid Provinsi dan Kab./Kota dibiayai oleh Pemerintah. Lebih bangga lagi Masyarakat Muslim berpartisipasi membangun dan mengurusi Masjid, tidak ada istilah Masjid Insyaallah yang ada hanya Insyallah Masjid terbangun sekalipun tidak sesuai target. Lalu pertanyaannya, adakah anak muda nongkrong ibadah di Masjid ? sudahkah Masjid ramah bagi anak muda ? sudahkah mereka mendapatkan ketenangan dan kenyamanan di Masjid ? Ada lagi deretan pertanyaan lain, kenapa Masjid hanya dipenuhi jamaah usia diatas 50 tahun saja, kemana anak-anak muda kita ?. Ketika waktu sholat mereka dimana ? Inilah beberapa fenomena yang di alami pengurus Masjid saat ini.

Peradaban Islam membuktikan betapa Masjid sebagai tempat ramah bagi siapa saja, bagi anak-anak, anak muda apalagi yang tua, tidak hanya untuk ibadah, dakwah dan pendidikan, dari Masjid lahir generasi tangguh bahkan pemimpin dunia. Masjid juga tempat menyelesaikan problem sosial masyarkat. Di tangan Rasulullah Saw lahir anak-anak muda tangguh, sebut saja Usamah bin Zaid umur 18 tahun diangkat menjadi komandan pasukan menaklukkan Syam. Zaid bin Tsabit dengan gagah berani berjihad diusia 13 tahun, diperintah mengumpulkan Alquran pada usia 21 tahun. Imam Syafi’i hafal Alquran umur 9 tahun, Ibnu Sina Bapak Kedokteran dunia mampu menghafal Alquran umur 5 tahun. Ada lagi kisah heroik Muhammad Al Fatih sang Penakluk Konstantinopel menjadi Sultan diusia muda, itulah sedikit contoh generasi muda menoreh tinta emas kegemilangan sejarah bahkan harum semerbak hingga kini. 

Pertanyaan di atas menjadi  PR bagi pengurus Masjid dan Dewan Kemakmuran Masjid. Saatnya di era millenial, dibulan Maulid, bulan Oktober hari Sumpah Pemuda, pengurus Masjid merubah mindsite pola pikir menoton dan minus inovasi dan kreasi menuju Masjid Paripurna. Pengamatan dilapangan membuktikan banyak Masjid megah, infrastuktur wah, namun minim aktifitas dakwah dan ruang bagi anak muda. Banyak pengurus Masjid mengurusi fisik interior, lupa Sumber Daya Masjid (SDM) yang menjadi basis ruh Masjid. Ada lagi yang menyedihkan, Masjidnya megah, pendingin ruangan bak Mall, namun perangkat Imam dan Muazzin nya para generasi tua, bila menjadi imam lebih banyak batuknya, bisa azan nafasnya tak sampai, sedih mendengarnya. Banyak Pengurus yang belum melibatkan anak muda dan mengambil peran di Masjid, banyak Masjid yang belum ada  Remaja Masjidnya, banyak Masjid minim aktivitas dakwah anak muda, bahkan masih banyak masjid yang belum menjadi Masjid yang ramah bagi anak-anak dan anak muda.

Ibarat dipersimpangan, jangan biarkan anak muda berdiri lama, bisa jadi mereka menabrak atau ditabrak, dihipnotis dan sejenisnya. Jangan biarkan mereka ragu memilih, jangan biarkan mereka galau. Jika mereka memilih simpang ke café, saatnya pemilik café berfikir menjadikan usaha café nya sebagai sarana dakwah bagi konsumen anak-anak muda. Jika malu disebut café syari’ah, tidak apa-apa yang penting nama boleh beda, nama boleh gaul, nama boleh millenials tapi isi dan kualitasnya tetapa syar’i. Bila anak muda nongkrong, ia berfikir suatu saat saya akan menjadi entrepreneur memilik ratusan café-café halal ditengah geliat wisata halal (halal tourism).

Tiba pulalah saatnya mereka di persimpangan jalan, waktu sholat telah masuk, azan dikumandangkan, saatnya pengurus Masjid Mushallah memberikan pelayanan ke Jamaah dan terkhusus bagi anak muda seperti mereka dilayani di café-café itu. Disambut ramah oleh toilet yang bersih, ruang masjid yang wangi bak kesturi, karfetnya harum  bak kiswah Ka’bah, disediakan minuman dan cemilan gratis, ada farfum di setiap pintu masjid, semua jamaah satu kesatuan wewanginya melebihi anak muda berwangi-wangi ketika hendak ke café-café itu, panggilan Muazzin dan Imamnya melebihi merdu suara penyanyi café-cafe itu, begitu pula pengurusi Masjid yang ramah dan humanis. Selama di Masjid mereka nyaman dan mendapatkan ketenangan melebihi yang mereka dapatkan di cefe-cefe itu. Saatnya bagi Masjid yang memiliki keuangan yang sehat dan berlebih, melayani jamaah terutama anak-anak muda bak pelayanan hotel bintang 5, bahkan sesungguhnya rumah Allah itu melebihi hotel bintang 5. Kita pasti bangga dengan anak-anak muda yang menjadikan Masjid sebagai rumahnya setelah rumah orang tuanya, mereka ramai memenuhi Masjid dengan aktivitas ibadah dan dakwah kaum millenials. Anak muda yang ta’at dan terpaut jatuh cinta ke Masjid akan mengalahkan kehendak nafsu duniawinya, Mereka akan mendapat naungan Allah kemudian kelak. [HR. Al-Bukhari, no. 660, 1423, Muslim, no. 1031].  Kita bangga anak-anak muda berjiwa Masjid yang entrepreneur, kreatif melahirkan inovasi produk-produk unggul lokal, regional bahkan internasional.. Indonesia memerlukan anak-anak Muda yang hijrah, kreatif berjiwa Qurani. Inilah bukti Mencintai Baginda Nabi Saw. Semoga…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *